Rabu, 20 Oktober 2010

TEOLOGI IBADAH

IBADAH DAN LITURGI

1.         Pengantar
Cukup terasa bagi  kita bahwa jemat merindukan ibadah yang baik lebih baik dan menyentuh. Menyentuh dalam arti dapat dimengerti, membantu mereka memahami dan merasakan kasih Allah dan sekaligus mengakomodasi ekspressi jemaat dalam menanggapi kasih Allah. Memang, salah satu bentuk ungkapan iman gereja terwujud dalam ibadah, karena apa yang dipercayai gereja mendapat bentuk yang nyata dalam kebaktiannya. Dengan kata lain, pemahaman teologi gereja menentukan isi dan corak ibadahnya.

Karena hubungan erat antara teologi dan ibadah, maka wajar saja jika gereja-gereja yang memiliki perbedaan ajaran- juga memiliki bentuk ibadah yang berbeda.[1]

Persoalannya, ada gereja yang memperbaharui ibadahnya dengan metode mengcopy model-model gereja lain tanpa mengerti dasarnya teologi dan kontektualisasinya. Pembaharuan jenis ini mengabdi pada “permintaan pasar”, dan bersifat entertainment. Tak heran, periode 10 tahun belakangan ini meningkat sekali jumlah tempat pelaksanaan ibadah (di hotel, Mall, lapangan terbuka, dll) dengan beragam kemasan ibadahnya. Tetapi peningkatan tempat dan model ibadah ini tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan spiritualitas dan moral orang Kristen dalam kehidupan sehari-hari. Masih tersisa pertanyaan yang mungkin belum tersentuh dan digumuli lebih mendasar.

Memang ibadah yang relevan dengan situasi jemaat (kontekstual) adalah cita-cita gereja; yang dapat dimengerti dan mampu mengakomodasi respons lokal. Tapi kita harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar ibadah kristen dan norma-norma umum yang didalamnya keputusan-keputusan pastoral (lokal) dapat dibuat. Hal ini tidaklah mudah untuk dijawab, karena semakin praktis keputusan, semakin perlu dasar-dasar teoritisnya ditemukan. Karena itu sebagai langkah awal dalam tulisan ini, kita akan mencoba mengamati dasar dari ibadah kristen, karena hal ini akan membantu kita berefleksi dan   menempuh langkah yang lebih baik dalam memikirkan pembaharuan ibadah.

2.         Pembaharuan Ibadah Dalam Alkitab
Sepanjang sejarah Alkitab, realitas kehidupan adalah part penting dalam liturgy / ibadah.
Dalam PL
misalnya, hubungan khusus antara Allah dan bangsa Ibrani, yang dikaitkan dengan sejarah perjuangan bangsa Yahudi selalu diperingati dan menjadi bagian integral dalam ibadah.[2]

Masalah-masalah kehidupan yang menjadi sumber pergumulan mereka adalah penjajahan, rasa tidak aman sebagai bangsa kecil berada di antara bangsa-bangsa di sekeliling yang sewaktu waktu bisa menyerang, rasa takut di tanah pembuangan, dll. Di sisi lain, siklus perubahan musim, kebutuhan upacara-upacara masyarakat agraris cukup memberi warna terhadap ibadah Israel. Bahkan ritus-ritus agama lain sekitar Israel turut mempengaruhi liturgy mereka.

Dalam PB, Inkarnasi, misteri paskah, dan pentakosta mewarnai ibadah jemaat mula-mula. Situasi kehidupan jemaat mula-mula yang dikejar-kejar turut mewarnai pola dan tempat ibadah mereka sehingga diadakan di rumah-rumah.

Sejarah gereja mencatat seringnya terjadi perobahan bentuk ibadah; bisa jadi  karena perkembangan peradaban / situasi kehidupan manusia,[3]  kadang karena perobahan / pergeseran pemahaman theologi gereja; seperti yang terjadi pada masa reformasi. Perobahan perobahan dalam sejarah gereja mencerminkan pergumulan gereja pada jamannya yang mengingatkan kita akan apa yang perlu menjadi perhatian gereja dulu dan sekarang, dan apa yang pernah luput dari perhatian gereja / yang terabaikan, dan apa yang masih perlu dikembangkan. Sejarah menjadi refrensi refleksi kita dalam menggumuli kehidupan ibadah kita sekarang ini.

Sejarah ibadah Kristen juga adalah sejarah “give and take” antara ibadah dan budaya. Singkatnya, perobahan dan penyesuaian merupakan bagian yang tidak pernah teripsahkan dari ibadah orang Kristen. Upaya-upaya kentokstualisai-inkulturasi akan dibahas dalam topik tersendiri karena memiliki prinsip-prinsip yang perlu diperhitungkan matang-matang.

3.         Theologi Ibadah
Alkitab memang tidak memberikan defenisi tunggal terhadap arti dan bentuk ibadah. Tapi ia memberi beberapa informasi yang membantu kita bergumul tentang ibadah. Karena itu dibawah ini akan diberikan rankuman defenisi ibadah yang tentunya cukup terbatas untuk melukiskan kedalaman makna ibadah. Tapi setidaknya defenisi ini akan merangsang kemauan kita berefleksi tentang ibadah.

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa ibadah merupakan penyataan kasih / pelayanan kasih Allah kepada dunia - termasuk manusia - dan respons jawaban manusia atas pelayanan kasih Allah.[4] Ibadah adalah cara orang percaya menghidupi, mengalami dan merayakan karya keselamatan. Apa yang telah Allah lakukan dalam sejarah diperbaharui dan dihadirkan kembali untuk dialami jemaat dalam situasi hidup mereka yang konkret sekarang ini. Ibadah menekankan proses renewal dan internalisasi iman yang harus berefek pada kehidupan real. Dalam kesadaran inilah hendaknya ibadah digumuli ulang. [5]  

Dalam pengertian ini, fungsi liturgi menjadi sarana dimana jemaat merasakan karya kasih Allah dalam sejarah menjadi real dalam kehidupan mereka sekarang ini, sekaligus liturgi menjadi arena bagi jemaat untuk mengekspresikan ungkapan syukurnya kepada Allah melalui elemen-elemen yang ada dalam situasi konkretnya.[6]  Selain fungsi representativ, ibadah (liturgi) dalam alkitab mengandung dimensi pengajaran / didactik (I Kor. ) dan  persekutuan; memecah roti bersama dan doa (Kis.2:42).[7]

Perlu dicatat, bahwa ibadah adalah pertama-tama merupakan inisiatif Allah, bukan inisiatif manusia. Dengan demikian, penyusunan liturgi bukanlah dalam upaya mencari atau merayu Allah agar bermurah hati kemada manusia. Inilah yang membedakan ibadah kristen dengan ibadah agama-agama suku atau praktek okultisme, dimana ibadah sering diperalat sebagai upaya “mendapatkan hati” tuhan.

Praktek okultisme ini kadang tanpa disadari- melekat pada proses pembuatan liturgi atau kemasan tata ibadah orang kristen. Diamana keinginan manusia seringkali melatarbelakangi pembuatan suatu ibadah. Kadang kepuasan manusiawi mendapatkan porsi yang besar dalam pertimbangan mengkemas ibadah. Seringkali ibadah bukan lagi didasarkan pada karya Allah yang akhirnya direspons oleh manusia. Dalam prakteknya, perbedaan ini cukup tipis sehingga kadang dari bentuknya sulit dibedakan. Secara sederhana, bisa diamati dalam bentuk-bentuk ibadah natal, dimana liturgi sering muncul sebagai tata cara yang mengakomodasi hal-hal yang bersifat entertainmen, sehingga menarik untuk dinikmati. Tanpa disadari, liturgi sering menempatkan jemaat sebagai audience.

Liturgi memiliki dimensi peringatan atau pengingatan (pengenangan = anamnesis, Ibr. zakar yang mempunyai arti menjadi sadar akan sesuatu). 
           
Pengingatan berarti menyatakan suatu hubungan antara masa lampau dan masa kini, yang olehnya nilai-nilai masa lampau itu dijadikan berlaku lagi, sekarang dan di sini, menjadi aktif lagi, dan mebaharui dan memberi dorongan untuk bertindak.[8]

            Mengingat dan mengulang-ulang adalah kegitan penting dalam liturgi. Pengingatan mencakup reinterpretasi, refresh tindakan penyelamatan Allah atas setiap orang. Ibadah-ibadah Taize memberi tekanan pada pengingatan dan pengulangan ini. Pembacaan Alkitab dilakukan dalam rangka mengingat, mengunyah dan mencerna makna firman Tuhan. Pengulangan ini dilakukan dalam kesadaran penuh untuk memahami sesuatu.

            Olst berkata, hal penting dalam pengingatan yang membentuk inti dari semua perayaan liturgis adalah “demonstrasi-demonstrasi akan tujuan penyelamatan Allah yang dimengerti dan dialami, diakui dan ditafsirkan secara liturgis dalam masa kini, meskipun itu terjadi di masa lampau. Dengan demikian, bukan lagi masalah minat historis dan ritus-ritusnya yang menjadi pusat penekanan, tapi proklamasi tentang perbuatan Allah dalam kepentingannya untuk setiap masa.[9]

            Fungsi fakta historis  bentuk-bentuk ibadah (ritus) dalam Alkitab dan sejarah gereja bukanlah bersifat mutlak, karena praktek-praktek ibadah itu adalah sarana untuk menolong kita untuk memahami, belajar, menyadari, dan memberi raspons atas tindakan Allah yang berlaku dulu dan sekarang. melihat apa yang baik yang sudah dilakukan dalam sejarah, dan apa yang tidak mendapat peneklanan dalam jaman berbeda)

            Liturgi di sini merupakan “titik pertemuan, titik kontak” dari segala zaman, agar semua orang yang mendengar firman, disapa secara pribadi dalam keberadaan mereka yang konkret.
Perlu dipahami, bahwa ibadah bukan berporos pada daya tarik yang dihasilkannya sehingga upaya entertainment alternative menjadi utama. Tapi kesadaran penuh akan kebaikan Allahlah yang menjadi dasar respons dan hormat kita dalam ibadah. Kesadar itulah yang melahirkan pujian benar, pengakuan yang jujur-tulus dan komitmen yang jelas.

4.         Bentuk Ibadah
Dalam kehidupan Israel, kita melihat bahwa manusia tidak bisa menghampiri Allah dengan sembarangan seperti keinginan manusia, apalagi dengan motive menyenangkan diri - kalaupun bangsa Israel sendiri diberi ruang keleluasaan untuk bertindak secara spontanitas.[10]


Dalam PL
, sering ditemui informasi bahwa Allah mengatur bentuk dan cara beribadah,  sehingga bentuk itu menjadi ungkapan nyata dari iman jemaat. Ketetapan-ketetapan beribadah yang diberikan oleh Allah, tidak hanya bermaksud menyediakan jalan bagi Israel untuk menyatakan imannya -bukan hanya karena mereka tidak tahu cara beribadah, tapi karena pada dasarnya manusia tidak layak untuk beribadah. Selain itu, lewat ibadah, Allah juga menyediakan jalan kembali kepada kerukunan dan persekutuan yang telah terputus.

Bentuk bentuk ibadah dalam Alkitab menyangkut juga prilaku orang dalam beribadah, karena prilaku kita adalah lambang nilai-nilai kita membantu kita untuk meneguhkan (mengingatkan) kita akan iman dan tanggung jawab kita. Tanda-tanda lahiriah ini menjadi alat pendidikan, pengajaran. Sebaliknya bentuk-bentuk ibadah ini dapat juga menjadi sarana untuk menyadarkan kita akan realitas Allah.[11]

Bentuk-bentuk itu sendiri tidaklah mutlak, karena yang menjadi inti dari bentuk dan prilaku dalam ibadah itu berfungsi menjembatani / membantu jemaat untuk mengekspresikan imannya lewat bentuk / prilaku / simbol tertentu yang mereka mengerti.
Bentuk ibadah memang seolah-olah mebatasi kebebasan. Tapi batasan terhadap bentuk ibadah ini bukan berarti penindasan, karena kemerdekaan sejati tidaklah diperoleh dan dan dinikmati dengan cara bertindak sesuka hati tanpa batasan, melainkan dengan berjalan pada jalan yang ditentukan Allah. Memang nabi-nabi pernah beberapa kali melontarkan kritik terhanap sikap eksternalisme dalam pelaksanaan ibadah, karena bentuk lahirian ibadah tanpa iman yang hidup dan bertumbuh adalah sia-sia. Namun hal itu tidak berarti bahwa ibadah tidak memerlukan bentuk yang nyata dan teratur.
           
Aspek bentuk ini juga merupakan ungkapan sosial yang dalam faktor-faktor penetapan liturgi[12]merupakan hal penting, dengan mana gereja akan mencerna / menginternalisasi apa yang ia imani dan dengan bentuk itu juga gereja menyaksikan imannya.

5.         Ibadah Devosional dan Liturgis
Ibadah dalam arti respons manusia; mempunyai dua bentuk, yakni ibadah devosional dan ibadah liturgis. Ibadah devosional dilakukan secara pribadi dan tidak terlalu terikat pada tempat waktu atau tata ibadah. Ibadah ini lebih berfokus pada perenungan dan kesadaran. Saat teduh pagi (dalam bentuk meditasi, kontemplasi, rekoleksi, dll, baik secara pribadi atau bersama dalam keluarga) dapat digolongkan dalam bentuk devosional. Sementara ibadah liturgis selalu menyangkut kebersamaan yang lebih besar dari individu[13] yang tentunya porsi-porsi individu tidak diabaikan, bahkan mendapat peran penting; seperti saat teduh sebelum unsur pengakuan dosa. Karena ibadah liturgis menyangkut kebersamaan, maka ia membutuhkan bentuk yang secara bersama bisa dimengerti, mampu mengakomodasi expressi individu dan bersama secara wajar. Karena itu faktor tradisi dan konteks jaman memainkan peranan penting.[14]

Dimensi persekutuan / koinonia cukup mewarnai ibadah liturgis, sehingga porsi individu tidak boleh terlalu mendominasi dan juga tidak boleh diabaikan. Dalam aspek ini, pertumbuhan iman mendapat keseimbangannya, menjadi bijak dalam menempatkan individu kalam kebersamaan. Ide ini jugalah yang dipahami dalam kata “persekutuan yang kudus dan am.

6.         Unsur-Unsur Ibadah Liturgis
Secara sedehana, kita dapat merangkum apa yang menjadi esensi ibadah, yakni: bertemu dengan Allah dalam ibadah dan menyadari realitas kebesaran Allah, menyadari realitas diri (maksud Allah atas kehidupan manusia, juga menyadari keberdosaan manusia), pertobatan, pembaharuan relasi dengan Allah, Firman, dan akhirnya berbuah kesadaran akan tugas dan tanggung jawab yang telah ditebus Allah.

Kesadaran ini akhirnya mendapat bentuk nyata yang terintegrasi dalam unsur-unsur ibadah liturgis orang kristen. Secara sederhana akan diuraikan unsur-unsur utama dalam ibadah kristen (bnd. Jeremia 1):
-         Kesadaran akan hadirat Allah (kekuusan, kemuliaan, kebesaran, cinta, dll). Allahlah alasan yang memungkinkan kita beribadah dan mengenal kasih dan maksudNya dalam kehidupan kita.`Kesadaran inilah yang menjadi dasar sukacita dan pujian kita dalam ibadah. Di luar hal ini, maka unsuir entertainment lah yang menjadi dasar suka cita kita.
-         Kesadaran Diri. Kesadaran akan Allah juga itulah yang menjadi dasar kita dalam mengoreksi diri yang akhirnya melahirkan pengakuan; pengakuan dosa, kehawatirn, kelemahan, ketakutan, dll. Orang menyadari kelemahan, menyadari semua pelanggarannya dan mengakui dosaannya dengan tulus, inilah yang diinginkan oleh Tuhan. Pengakuan inilah yang mendahului absolusi (penebusan dosa) dan rekonsiliasi (pendamaian).
-         Pengampunan dan pendamaian dari Allah akhirnya menjadi dasar kita dalam berdamai dengan sesama. Inilah yang melahirkan rasa damai sejahtera dalam hidup manusia.
-         Firman – komunikasi. Orang yang diampuni dan berdamai menjadi gerbang komunikasi yang baik dengan Allah.
-         Response; Pengakuan iman, Persembahan, dll
-         Komitment / Tekad
-         Pengutusan (sending out / Missi) dan Berkat
         
Ada beberap unsur lainnya yang mendapat penempatan yang cukup variatif dalam beberapa denominasi gereja, yang dipengaruhi oleh sejarah dan penafsiran gereja akan unsur-unsur tertentu.
           
Namun, kelengkapan struktur ini dalam sejarah Alkitab membuat liturgi itu sendiri sudah memiliki inti / pesan yang jelas. Liturgi itu sendiri sudah merupakan khotbah atau renungan yang dapat dirasakan berbicara bagi jemaat.
Dalam PL
misalnya, Firman Allah tidak didominasi dalam khotbah, tapi dalam bacaan, perenungan, nyanyian yang memuat pengajaran yang diulang-ulang (pengunyahan) yang merupakan proses internalisasi. Kelihaian berkhotbah mulai mendapat kepentingannya dalam PB sebagai efek dari sistem pendidikan retorika. Sedikit tidaknya, efek yang berbeda muncul dalam karakter khotbah Paulus dan Apolos yang akhirnya mendatangkan gejolak keberpihakan dalam jemaat korintus (bnd I Kor. 1:12- ).
      
            Saya tidak mengatakan bahwa khotbah tidak penting, tapi liturgi yang memiliki kelengkapan struktur (ditambah lagi dengan kemasan bahasa yang baik) sudah memiliki alur khotbah.

Penutup
            Perobahan situasi kehidupan jemaat memang menuntut cara hidup dan ibadah yang berbeda pula. Kita menyadari bahwa, gereja selalu berada dalam masa transisi, tidak pernah berada dalam kondisi fix dan permanent. Konteks sekarang; kita berhadapan dengan konteks kebudayaan dan agama tradisional di satu pihak, tapi kita juga bergumul dengan konteks modernisasi yang dengan nyata menjadi bagian hidup masyarakat yang mendatangkan perobahan nilai (pola pikir / pengertian / penghayatan).
           
            Karena itu, gereja tidak boleh berhenti bergumul memperbaharui hidupnya agar menjadi kesaksian yang benar tapi relefan dalam penyampaiannya. Berhenti bergumul dan mempermanenkan suatu pengalaman sejarah sebagai standard dapat membuat gereja kita menjadi monumen antik. Sehubungan dengan upaya pembaharuan liturgi, maka yang kita cita-citakan adalah ibadah yang kontekstual dengan muatan-muatan konteks yang tertuang dalam unsur-unsur liturgi, tapi tetap didasarkan pada theologi dan struktur prinsipil liturgi. Bagaimana menciptakan ibadah yang kontekstual tapi berdasar pada theologi dan prinsip liturgi? Masalah ini akan dibahas dalam semiloka tersendiri, karena ia membutuhkan waktu dan latihan yang cukup.

Terimakasih.

Krismas Imanta Barus


[1]   Bnd efek pemahaman sakramen perjamuan kudus Katolik Roma dan Protestan terhalap pelaksanaan Ibadah.
[2] Balasuriya., “Teology Siarah” (1994;261), Jkt. BPK GM
[3] Sejarah peribadahan orang kristen merupakan proses take and give antara agama dan budaya. bnd. Chupungco. A.J., “Cultural Adaptation of Liturgy” (1982;3), USA Paulist Press
[4]   Burkhart. J.E, “Worship” (A Searching Examination of the Liturgical Expirience), (1992;17), Westminster Press, Philadelphia, bnd. Dyrness. W., (1992:123), BPK GM
[5]   Alceste Atella in “Hand Book for Liturgical Studies”, edited by Chupungco, (1998; 4,5), The Liturgical Press, Collegeville Minnesota.
[6] Crichtone J.D, “The Church Worship (1964;27), bnd. White. J.F., “Pengantar Ibadah Kristen (2002;12), Jakarta, BPK Gunung Mulia
[7]   Senn. F.C., “Christian Worship and  Its Cultural Setting” (1983;39), Fortress Bnd. Chupungco. A.J., “Cultural Adaptation of Liturgy (1982; 6-9), USA Paulist Press. Dimensi pendidikan dari ibadah ini juga dianut oleh Calvin, bnd. Van den End., “Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme”, (2001;410-412), Jkt. BPK GM.
[8]   Bnd. Schreiter. R.J., “Constructing Local Theology”, (1991;43), Orbis Books, Maryknoll, New York
[9]   Olst, E.H. van., “Alkitab dan Liturgi (1996:56), Jkt. BPK GM
[10]             Dyenes. W., “Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama,”(1992;123, 124), Jkt. BPK GM
[11]             Oehler. G., (1880, I;264)
[12] Reimer. G., “Cermin Injil, Ilmu Liturgi”, (2003:28-39), OMF
[13] Erey. M., “Liturgical Worship”, (2002:13), Church Publishing House
[14] bnd. Hesselgraf., “Kontextualisasi, Makna, Metode dan Model, (2002;21- ), Jkt. BPK GM

1 komentar:

  1. ok mantap...memang seharusnya gereja melaksanakan teologi yang kontekstual, sebab Allah lahir dari budaya. dimana jemaat mencintai budayanya.Disaat ibadah kontekstual berjalan,jemaat akan lebih mudah mengerti dan memahami firman Allah.

    BalasHapus