Rabu, 20 Oktober 2010

IBADAH DAN MUSIK

IBADAH DAN MUSIK

1.         Pengantar
            Dari sekian banyak kegiatan dalam ibadah, musik (instrument dan vocal) merupakan suatu kegiatan yang cukup banyak paling banyak dalam persekutuan Kristen. Selain media expressi, pengajaran, doa, dll, bahkan musik mampu menyentuh manusia ketika bahasa biasa tidak mampu menyentuh manusia. Namun dalam beberapa konsultasi musik dan liturgi di Indonesia ditemui beberapa kesan dari gereja-gereja tentang musik sbb:
-         Ada perbedaan kebutuhan musikal antara orang tua dan kaum muda dalam ibadah
-         Ada perbedaan kebutuhan musikal antara jemaat desa dan kota
-         Musik  dan litrugi yang telah dipelihara gereja turun-temurun tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan jemaat yang heterogen.
-         Banyak gereja memonumenkan nyanyian sehingga tidak berkembang
-        Banyak gereja yang merelatifkan penggunaan musik gereja sehingga terjadi keragaman yang membingungkan jemaat
-        Kurangnya gereja memberi tempat bagi diskusi-diskusi pembahasan musik yang serius dalam pertemuan-pertemuan gerejani
-         Kurangnya upaya kontekstualisasi musik; dll

Keterangan ini bahkan bukan hanya kesan, tapi memang sebagai sebuah kenyataan. Melihat dan menyadari hal ini, ditemukan beberapa aksi gereja, seperti:
-         Sikap tertutup / membatasi diri terhadap sesuatu di luar tradisi / kebiasaan.
-         Sikap reaktif (membuat tandingan) terhadap aliran kontemporer
-        Sikap Ada gereja yang semakin yang menanggapinya dengan sedikit reaktif dan melakukan perobahan instant system mengcopy atau mengabdi pada permintaan pasar
-        Sikap tanggap / hati-hati; serius dan terarah. Mengamati buah, mencari akar masalah dan meramu jalan keluar.

           Semua sikap ini tergantung pada sistem pengajaran dan konsep teologi gereja tentang ibadah dan sistem sosialisasi gereja kepada jemaat atau bidang-bidang tertentu yang berkaitan dengan ibadah dan musik. Perlu kita ketahui bahwa ibadah adalah penampakan pandangan teologi sebuah gereja. Wajar saja, gereja-gereja yang berbeda sistem pengajaran, memiliki perbedaan pendekatan / strategi dalam pelaksanaan dan pembaharuan ibadahnya.

            Dalam perkembangan gereja-gereja kontemporer, peranan musik cukup mendapat tempat dalam kemasan ibadahnya. Bahkan dibeberapa gereja, disebut dengan istilah ibadah pujian, dimana unsur-unsur liturgi dikemas dalam bentuk musik dan nyanyian. Tidak bisa dipungkiri, hasilnya cukup menarik minat banyak orang. Hal ini menjadi tantangan bagi gereja-gereja main stream namun sekaligus mejadi peluang, dimana kita mengetahui ada kerinduan jemaat yang menjadi jalan masuk pelayanan gereja lewat ibadah. Namun pembaharuan ibadah itu harus didasarkan pada pengertian dan skill yang benar, agar tidak mengabdi pada permintaan pasar semata.

Yang jelas, bahwa manusia termasuk gereja tidak mungkin terlepas dari musik. Yang kurang jelas adalah bagaimana kita menempatkan musik itu dalam ibadah sehingga memiliki efektifitas yang baik. Apakah musik harus mengikuti atau menolak arus jaman? Apakah dasar berpijak kita untuk mengembangkan, memperbaiki atau mempertahankan musik dalam ibadah gereja? Tentunya, masih banyak pertanyaan yang boleh kita ajukan seputar musik dan penggunaannya dalam ibadah. Untuk itulah, dalam bagian berikut ini, kita akan menjelajahi beberapa aspek musik dalam korelasinya dengan ibadah, prikologi dan prilaku, yang akan membantu kita dalam pengembangan ibadah.

2.         Fungsi Musik secara umum
Musik memiliki beberapa fungsi seperti:
       Bahasa atau alat komunikasi yang sangat berkaitan erat dengan jaman / budaya dan lingkungan sekitarnya
       Media expressi manusia
       Media pengajaran, stimulasi terhadap aspek kognitif, motorik dan afektif.

3.                  Fungsi Musik dalam Ibadah
-        Musik sebagai liturgi (unsur dari ibadah itu sendiri); pujian, pewartaan, perenungan, syukur, permohonan, persembahan, tekad, penyerahan diri / pernyataan iman, dsb
-        Musik mempersatukan team penyanyi, jemaat juga jemaat dan penyanyi; baik pada permulaan / cinditioning, menyambut firman, komitment, dll.
-        Musik menyertai ibadah (latar belakang pendukung terciptanya suasana hikmat); waktu pembukaan, saat teduh-pengakuan dosa, perjamuan kudus, dll
-         Musik memperindah ibadah; sebagai pendukung untuk baiknya pelaksanaan nyanyian.[1]

4.                  Psikologi dan Musik
Musik dapat meningkatkan aspek kognitif, motorik dan afiektif manusia. Di antara sel-sel (neuron) otak manusia ada jarak/ pemisah. Sel (neuron) yang tidak bersentuhan ini berkomunikasi dengan rangsangan elektric dengan kecepatan tertentu. Musik dapat memberikan rangsangan-rangsangan yang kaya untuk segala aspek perkembangan secara kognitif dan kecerdasan emosional (EQ). Roger Sperry dan Herry Chunagi penemu teori Neuron mengatakan bahwa neuron baru akan menjadi sirkuit jika ada rangsangan musik sehingga neuron yang terpisah-pisah itu bertautan dan mengintegrasikan diri dalam sirkuit otak, sehingga terjadi perpautan antara neuron otak kanan dan otak kiri itu.[2]

Musik membantu manusia (khususnya anak) untuk menangkap hubungan antara waktu, jarak dan urutan (rangkaian) yang merupakan keterampilan yang dibutuhkan untuk kecakapan dalam logika berpikir, matematika, bahasa dan penyelesaian masalah.

Cara kerja otak manusia: jika ada sel-sel otak yang tidak dipakai, maka sel itu akan dibuang, sehingga kemampuan manusia yang berhubungan dengan sel yang telah dibuang itu sangat –sangat sulit untuk di kembangkan.

Secara fisik, indra pendengaran merupakan perkembangan yang pertama dari kelima indra yang bisa distimuli untuk meningkatkan perkembangan fungsi otak manusia. Kognitif merupakan semua proses dan produk pikiran untuk mencapai pengetahuan yang berupa aktivitas mental seperti mengingat, mensimbolkan, mengkategorikan, memecahkan masalah, menciptakan, berfantasi dan bergerak.

4.         Musik dan Prilaku
Perbedaan selera ibadah antara orang tua dan kaum muda sangat dipengaruhi oleh pengalaman musiknya. Djohan menyebutkan bahwa pengalaman musik seseorang sangat berpengaruh dalam hidupnya dalam jangka waktu lama. Setiap pengalaman musik membawa manusia kepada sebuah evolusi kerja otak, yang mengembangkan / mempertajam  kecendrungan-kecendrungan / potensi yang dimiliki oleh manusia, sehingga perkembangan itu diterima manusia (khususnya anak) sebagai sebuah lingkungan nyaman.

Beberapa ahli psikologi musik, seperti: Colwyn Trevarthen (1999), Hanus dan Mechtild Papousek (1996) menyatakan bahwa manusia (khususnya bayi) menunjukkan serangkaian prilaku “proto musikal” dalam interaksi mereka dengan orang-orang terdekat dengannya. Ia akan meniru “irama” dan “pitch”, dari suara yang mereka dengar. Proses peniruan / sinkronisasi vocal yang teratur ini akan melengkapi seseorang untuk sistem sensor, kinestetik dan visual. Semakin banyak rangsangan yang masuk melui indranya, maka sebanyak itulah data yang akan dia olah dan diterima sebagai dunia hidupnya.[3]

Sebagai contoh, musik “odak-odak” dan “patam-patam” dalam budaya Karo akan mengekplorasi sebuah potensi sosial. Demikian halnya dengan musik-musik barat yang sring di dengar oleh anak kecil dan remaja, akan melahirkan potensi sosial yang terinternalisasi. Dalam kerangka ini, musik / nyanyian dan expressi seseorang adalah proses internalisasi (being with).

Dari aspek proto musikal, maka musik yang didengar secara teratur berfungsi sebagai domain yang dipilih dalam diri seseorang. Karena itu, jika suatu saat ia berhadapan dengan lingkungan musik yang baru di luar domainnya, maka hal itu dianggap “ribut”. (Bnd. pengalam Musa)

Tentu kita sadari bahwa ada perbedaan yang cukup besar antara musik yang dialami oleh orang tua sekarang dan kaum muda sekarang.

5.         Peluang pengembangan Potensi Manusia Lewat Musik
            Setelah mengetahui sekilas tentang cara kerja dan efek musik secara terhadap kognitif, motorik, afektif dan prilaku, maka gereja dapat memperhitungkan dengan sengaja efek-efek yang mau ditumbuhkan lewat pemilihan dan kemasan musik dalam ibadah.
           
            Tugas kita ke depan adalah memperhitungkan aspek mana dalam ibadah yang perlu di internalisasi lewat nyanyian dan menjadi domain dalam kehidupan jemaat. Dengan demikian fungsi unsur dan struktur liturgi dapat menjadi lebih maksimal.

6.         Musik dan Ibadah
            Untuk menempatkan musik yang tepat dalam ibadah, maka kita perlu mengenal unsur-struktur liturgi dan tipologi jemaat, karena aspek-aspek ini memainkan peranan penting dalam penempatan, pemilihan dan pembawaannya dalam sebuah ibadah.

Unsur dan Struktur Liturgi (Sampel dalam Jesaya 6:1-8) 
-          Kesadaran akan Kemahabesaran Allah
-          Kesadaran diri / pengenalan diri / pengakuan dosa
-          Pengampunan dan pendamaian (absolution & reconciliation)
-          Firman
-          Respons; pengakuan iman, persembahan
-          Tekad dan penyerahan diri (commitment & dedication)
-          Pengutusan dan berkat

Dari informasi di atas, terlihat bahwa dasar dari segala ibadah adalah inisiatif Allah, dan manusia meresponsnya dalam urutan struktur yang dikristalisasi dalam pengalaman sejarah alkitab.[4] Unsur ini memiliki dimensi pastoral, psikologi dan etik beribadah. Unsur ini jugalah yang akan memandu penempatan dan nuansa musikal dalam ibadah.

            Fungsi thenis liturgio adalah memfasilitasi dan menciptakan saebuah suasana agar jemaat merasakan ia berada di hadapan Allah yang maha besar dan penuh kasih, dengan demikian jemaat akan mengenal dirinya di hadapan Allah dan memberi respon dengan penuh hormat. Kemasan elemen liturgi bukanlah sebuah upaya untuk menyenangkan jemaat. Tapi pertemuan yang benar dengan allah akan memberikan ketenangan itu sendiri.

7.         Penempatan Nyanyian dalam Struktur Ibadah
Nyanyian dalam ibadah mengikuti alur liturgi dalam berbagai fungsi, seperti penguatan struktur, doa, proses internalisasi, dll. Selain itu, jenis nyanyian dalam ibadah juga mengikuti unsur liturgi, seperti nyanyian:
       Pujian – penyembahan (Praise / adoration). Nyanyian ini didasarkan atas kesadaran akan karya, kemahabesaran Allah.
       Pengakuan (Self awarenes / confession). Nyanyian ini merupakan pengakuan diri setelah bercermin pada kemahabesaran, karya / cinta Allah.
       Nyanyian berisikan pengmpunan dan pendamaian (Absolition / reconciliation). Dibeberapa tradisi gereja (seperti katolik dan anglikan), nyanyian ini dinyanyikan oleh Pastor.
       Nyanyian syukur atas pengampunan / penebusan dosa
       Nyanyian Respons; baik terhadap firman, nyanyian persembahan.
       Nyanyian permohonan (Kyrie). Nyanyian ini dikombinasi dengan doa-doa.
       Nyanyian tekat / penyerahan diri (commitment / dedication). Nyanyian ini berakar pada semangat pembaharuan setelah menerima pengampunan dan Firman  yang menuntun manusia dalam menjalankan kehidupan.
       Aklamasi (amen, haleluya, gloria, dll)

8.         Jenis Musik / Nyanyian dalam Tradisi Gereja

Mazmur (Psalm):
Dalam bahasa Inggrisnya "Psalm" dan dalam bahasa aslinya yaitu Yunani Psalmos adalah suatu musik yang merefleksikan kehidupan pemazmurnya, baik sukacita, dukacita, kebimbangan, pergumulan, maupun kemenangannya dalam Tuhan, artinya mazmur timbul dari Pengalaman Hidup Bersama TUHAN, cerminan pribadi dari sebuah hati milik Allah.

Kidung Pujian (Hymne)
berasal dari kata asli "Himnos" yaitu musik untuk beribadah dalam bait Allah. Berbeda dengan mazmur, kidung pujian adalah musik yang dibuat dan ditujukan langsung kepada Tuhan, menggambarkan sifat-sifat dan kebaikanNya. Kita dipanggil untuk memuji Dia sebagai pribadi dalam kebesaranNya! Inilah lagu yang timbul dari Pengenalan Seseorang Akan Tuhan.

Nyanyian Rohani (Spiritual Song):berasal dari kata Yunani "Ode" yang berarti "tema rohani di dalam intonasi musik umum yang ada didunia." Inilah jenis musik Kristen yang ditujukan pada masyarakat umum untuk membawa pesan kebenaran dan terang Injil di luar lingkungan gereja.
9.         Karakter Musik dan pemakaiannya dalam Rangkaian Liturgi
Rhytmical; menekankan rhytm, kepadatan dan variasi dalam 1 ketukan. Kepadatan dan variasi rhytm dalam tempo tempo dapat menstimulasi aktivitas yang menekankan sinkronis, ritme dan urutan dari pergerakan. Dengan bergerak ini juga meningkatkan kepekaan sensori, dan dengan kepekaan sensori ini juga meningkatkan perkiraan yang tepat terhadap ruang (spatial), arah dan waktu. Perkembangan dari struktur ini merupakan dasar dari berfungsinya efisiensi pada area lain, seperti kemampuan visual, auditif dan sentuhan. Musik jenis ini cendrung dipakai sebagai lagu-lagu untuk kebersamaan, punjian di pra ibadah, dll. Umumnya kombinasi rhytm dan tempo mempengaruhi gerak:
-         Musik 1/8 untuk run / marathon  ♪♪  ♪♪  ♪♪  ♪♪
-         Musik ¼ untuk walk Walk  ● ●  ● ●
-         Musik ½ untuk santai / Stride (langkah slow)       

Melodic; berfokus pada syair / peresapan kata yang di nyanyikan. Dalam ibadah, umumnya menggunakan kata-kata seperti: ku, aku, saya. Musik jenis ini menekankan ketenangan, penghayatan sehingga cendrung lamban. Komposisinya notasinya tidak terlalu rapat dan membutuhkan pernafasan panjang. Umumnya dinyanyikan dalam pengakuan dosa, permohonan-kyrie, syukur. Kombinasi lirk dan pernafasan panjang membantu jemaat dalam peresapan makna.

Harmonik; berpokus pada harmonisasi lagu. Musik Harmoni berfokus pada keragaman, variasi interval, tempo, dan dinamika. Komplikasinya menstimulasi perasaan kebersamaan dalam perbedaan, kreatifitas dalam perbedaan (fair). Kemampuan-kemampuan seperti ini makin dioptimalkan melalui stimulasi dengan memperdengarkan musik klasik.[5]

10.       Beberapa efek musik Gerejani
            Ketika penempatan dan pemilihan musik menyatu dengan struktur liturgi, ia akan menjadi kekuatan yang multi fungsi:

-         Musik rhytmical akan memberi semangat dan kesegaran fisik. Ketika jenis musik ini dimainkan dalam tempo 90-an dan nuansa riang, maka akan memacu naiknya tempo jantung dan meningkatnya antibody yang diproduksi lewat tulang punggung. Wajar saja, dalam ibadah-ibadah kontemporen, ada banyak orang merasa lebih segar setelah pulang beribadah.

-         Musik melodic sangat membantu manusia dalam mengekpressikan perasaannya, baik kekaguman, cinta, ketertekanan, permohonan, dsb. Secara psikologi, orang yang dapat dengan wajar mengekpressikan perasaannya akan merasa lega.
-        Kombinasi rhytm, melodi, dan harmoni dari musik klasik dapat merupakan stimulasi untuk meningkatkan kemampuan belajar dan pengenalan emosi. Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali emosi perasaannya sendiri dan dapat mengendalikannya.[6] Musik urak-urakan yang digemari anak muda adalah karena mereka tidak tahu proses pengenalan emosi dan bagaimana menciptakan self-musik melalui eenner self mereka. Ketika Orang mengenal inner self mereka, ia akan mencipta sendiri sesuatu yang berguna bagi mereka.

-         Kemampuan membina hubungan bersosialisasi sama artinya dengan kemampuan mengelola emosi orang lain. Musik membantu manusia untuk mengerti orang lain dan memberikan kesempatan dalam pergaulan sosial dan perkembangan terhadap emosional mereka.

-         Kemampuan untuk mengelola emosi orang lain sehingga tercipta keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang menjadi lebih luas. Anak-anak dengan kemampuan ini cenderung mempunyai banyak teman, pandai bergaul. Melalui belajar kelompok (group) dituntut untuk bekerjasama, mengerti orang lain.

Selain memahami liturgi dan kategori musik, kita juga perlu memperhatikan tipologi jemaat (kebutuhan Psikologis-Human Character), yang akan dibahas dalam tulisan tersendiri, karena cara manusia menyerap ide cukup berfariasi, seperti:
-         Extrovert
-         Introvert

Kebutuhan Psikologis (Human Sensor)
-         Visual: mata dan ketraturan tata letak, ruang / space
-         Audio; kata-kata, bunyi, intonasi, harmoni, dll
-         Kinestetik, rasa, sentuhan, gerak, gesture, dll
-         Digital: data, logika, alur / sistematika

11.              Penutup
Berdasarkan wacana-wacana di atas, bahwa musik dapat mempengaruhi seseorang dalam aspek kognitif sekaligus keterampilan sosial emosional, maka selayaknyalah gereja bergumul lebih serius tentang pengembangan musik gerejani.

            Akhir kata, tulisan ini tidaklah merangkum semua hal untuk kebutuhan pengembangan musik gereja. Kita membutuhkan waktu dan keseriusan yang khusus, sehingga kita sebagai orang yang diberi Tuhan talenta dalam dunia musik akan mempersembahkan talenta kita kembali kepadanya dengan sepenuh hati. Kiranya wacana sederhana ini dapat mendorong kita untuk berkarya lebih baik. Tuhan si masu-masu kaita kerina.

Bujur ras menjuah-juah.
Krismas Imanta Barus



[1] Karl Edmund Prier., “Pedoman Umum Bagi Para Petugas Liturgi”, (2003.p.3,4) PML Jogjakarta
[2] Siegel, Daniel J.. The Developing Mind, Toward a Neurobiology of Interpersonal Experience, (1999)New York: The Guilford Press.
[3] Djohan,. Psikologi Musik.  (2005) Buku Baik Yogyakarta
[4]   Burkhart. J.E, “Worship” (A Searching Examination of the Liturgical Expirience), (1992;17), Westminster Press, Philadelphia, bnd. Dyrness. W., (1992:123), BPK GM
[5] Gallahue, DL & Ozmun J.C. 1998. Understanding Motor Development, Infant Children, Adolescents Adults. Hill Boston : Mc Graw.

[6] Shapiro, Laurence E. 1997. Mengajarkan Emotional Intelligensi Pada Anak. Jakarta: Gramedia.

TEOLOGI IBADAH

IBADAH DAN LITURGI

1.         Pengantar
Cukup terasa bagi  kita bahwa jemat merindukan ibadah yang baik lebih baik dan menyentuh. Menyentuh dalam arti dapat dimengerti, membantu mereka memahami dan merasakan kasih Allah dan sekaligus mengakomodasi ekspressi jemaat dalam menanggapi kasih Allah. Memang, salah satu bentuk ungkapan iman gereja terwujud dalam ibadah, karena apa yang dipercayai gereja mendapat bentuk yang nyata dalam kebaktiannya. Dengan kata lain, pemahaman teologi gereja menentukan isi dan corak ibadahnya.

Karena hubungan erat antara teologi dan ibadah, maka wajar saja jika gereja-gereja yang memiliki perbedaan ajaran- juga memiliki bentuk ibadah yang berbeda.[1]

Persoalannya, ada gereja yang memperbaharui ibadahnya dengan metode mengcopy model-model gereja lain tanpa mengerti dasarnya teologi dan kontektualisasinya. Pembaharuan jenis ini mengabdi pada “permintaan pasar”, dan bersifat entertainment. Tak heran, periode 10 tahun belakangan ini meningkat sekali jumlah tempat pelaksanaan ibadah (di hotel, Mall, lapangan terbuka, dll) dengan beragam kemasan ibadahnya. Tetapi peningkatan tempat dan model ibadah ini tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan spiritualitas dan moral orang Kristen dalam kehidupan sehari-hari. Masih tersisa pertanyaan yang mungkin belum tersentuh dan digumuli lebih mendasar.

Memang ibadah yang relevan dengan situasi jemaat (kontekstual) adalah cita-cita gereja; yang dapat dimengerti dan mampu mengakomodasi respons lokal. Tapi kita harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar ibadah kristen dan norma-norma umum yang didalamnya keputusan-keputusan pastoral (lokal) dapat dibuat. Hal ini tidaklah mudah untuk dijawab, karena semakin praktis keputusan, semakin perlu dasar-dasar teoritisnya ditemukan. Karena itu sebagai langkah awal dalam tulisan ini, kita akan mencoba mengamati dasar dari ibadah kristen, karena hal ini akan membantu kita berefleksi dan   menempuh langkah yang lebih baik dalam memikirkan pembaharuan ibadah.

2.         Pembaharuan Ibadah Dalam Alkitab
Sepanjang sejarah Alkitab, realitas kehidupan adalah part penting dalam liturgy / ibadah.
Dalam PL
misalnya, hubungan khusus antara Allah dan bangsa Ibrani, yang dikaitkan dengan sejarah perjuangan bangsa Yahudi selalu diperingati dan menjadi bagian integral dalam ibadah.[2]

Masalah-masalah kehidupan yang menjadi sumber pergumulan mereka adalah penjajahan, rasa tidak aman sebagai bangsa kecil berada di antara bangsa-bangsa di sekeliling yang sewaktu waktu bisa menyerang, rasa takut di tanah pembuangan, dll. Di sisi lain, siklus perubahan musim, kebutuhan upacara-upacara masyarakat agraris cukup memberi warna terhadap ibadah Israel. Bahkan ritus-ritus agama lain sekitar Israel turut mempengaruhi liturgy mereka.

Dalam PB, Inkarnasi, misteri paskah, dan pentakosta mewarnai ibadah jemaat mula-mula. Situasi kehidupan jemaat mula-mula yang dikejar-kejar turut mewarnai pola dan tempat ibadah mereka sehingga diadakan di rumah-rumah.

Sejarah gereja mencatat seringnya terjadi perobahan bentuk ibadah; bisa jadi  karena perkembangan peradaban / situasi kehidupan manusia,[3]  kadang karena perobahan / pergeseran pemahaman theologi gereja; seperti yang terjadi pada masa reformasi. Perobahan perobahan dalam sejarah gereja mencerminkan pergumulan gereja pada jamannya yang mengingatkan kita akan apa yang perlu menjadi perhatian gereja dulu dan sekarang, dan apa yang pernah luput dari perhatian gereja / yang terabaikan, dan apa yang masih perlu dikembangkan. Sejarah menjadi refrensi refleksi kita dalam menggumuli kehidupan ibadah kita sekarang ini.

Sejarah ibadah Kristen juga adalah sejarah “give and take” antara ibadah dan budaya. Singkatnya, perobahan dan penyesuaian merupakan bagian yang tidak pernah teripsahkan dari ibadah orang Kristen. Upaya-upaya kentokstualisai-inkulturasi akan dibahas dalam topik tersendiri karena memiliki prinsip-prinsip yang perlu diperhitungkan matang-matang.

3.         Theologi Ibadah
Alkitab memang tidak memberikan defenisi tunggal terhadap arti dan bentuk ibadah. Tapi ia memberi beberapa informasi yang membantu kita bergumul tentang ibadah. Karena itu dibawah ini akan diberikan rankuman defenisi ibadah yang tentunya cukup terbatas untuk melukiskan kedalaman makna ibadah. Tapi setidaknya defenisi ini akan merangsang kemauan kita berefleksi tentang ibadah.

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa ibadah merupakan penyataan kasih / pelayanan kasih Allah kepada dunia - termasuk manusia - dan respons jawaban manusia atas pelayanan kasih Allah.[4] Ibadah adalah cara orang percaya menghidupi, mengalami dan merayakan karya keselamatan. Apa yang telah Allah lakukan dalam sejarah diperbaharui dan dihadirkan kembali untuk dialami jemaat dalam situasi hidup mereka yang konkret sekarang ini. Ibadah menekankan proses renewal dan internalisasi iman yang harus berefek pada kehidupan real. Dalam kesadaran inilah hendaknya ibadah digumuli ulang. [5]  

Dalam pengertian ini, fungsi liturgi menjadi sarana dimana jemaat merasakan karya kasih Allah dalam sejarah menjadi real dalam kehidupan mereka sekarang ini, sekaligus liturgi menjadi arena bagi jemaat untuk mengekspresikan ungkapan syukurnya kepada Allah melalui elemen-elemen yang ada dalam situasi konkretnya.[6]  Selain fungsi representativ, ibadah (liturgi) dalam alkitab mengandung dimensi pengajaran / didactik (I Kor. ) dan  persekutuan; memecah roti bersama dan doa (Kis.2:42).[7]

Perlu dicatat, bahwa ibadah adalah pertama-tama merupakan inisiatif Allah, bukan inisiatif manusia. Dengan demikian, penyusunan liturgi bukanlah dalam upaya mencari atau merayu Allah agar bermurah hati kemada manusia. Inilah yang membedakan ibadah kristen dengan ibadah agama-agama suku atau praktek okultisme, dimana ibadah sering diperalat sebagai upaya “mendapatkan hati” tuhan.

Praktek okultisme ini kadang tanpa disadari- melekat pada proses pembuatan liturgi atau kemasan tata ibadah orang kristen. Diamana keinginan manusia seringkali melatarbelakangi pembuatan suatu ibadah. Kadang kepuasan manusiawi mendapatkan porsi yang besar dalam pertimbangan mengkemas ibadah. Seringkali ibadah bukan lagi didasarkan pada karya Allah yang akhirnya direspons oleh manusia. Dalam prakteknya, perbedaan ini cukup tipis sehingga kadang dari bentuknya sulit dibedakan. Secara sederhana, bisa diamati dalam bentuk-bentuk ibadah natal, dimana liturgi sering muncul sebagai tata cara yang mengakomodasi hal-hal yang bersifat entertainmen, sehingga menarik untuk dinikmati. Tanpa disadari, liturgi sering menempatkan jemaat sebagai audience.

Liturgi memiliki dimensi peringatan atau pengingatan (pengenangan = anamnesis, Ibr. zakar yang mempunyai arti menjadi sadar akan sesuatu). 
           
Pengingatan berarti menyatakan suatu hubungan antara masa lampau dan masa kini, yang olehnya nilai-nilai masa lampau itu dijadikan berlaku lagi, sekarang dan di sini, menjadi aktif lagi, dan mebaharui dan memberi dorongan untuk bertindak.[8]

            Mengingat dan mengulang-ulang adalah kegitan penting dalam liturgi. Pengingatan mencakup reinterpretasi, refresh tindakan penyelamatan Allah atas setiap orang. Ibadah-ibadah Taize memberi tekanan pada pengingatan dan pengulangan ini. Pembacaan Alkitab dilakukan dalam rangka mengingat, mengunyah dan mencerna makna firman Tuhan. Pengulangan ini dilakukan dalam kesadaran penuh untuk memahami sesuatu.

            Olst berkata, hal penting dalam pengingatan yang membentuk inti dari semua perayaan liturgis adalah “demonstrasi-demonstrasi akan tujuan penyelamatan Allah yang dimengerti dan dialami, diakui dan ditafsirkan secara liturgis dalam masa kini, meskipun itu terjadi di masa lampau. Dengan demikian, bukan lagi masalah minat historis dan ritus-ritusnya yang menjadi pusat penekanan, tapi proklamasi tentang perbuatan Allah dalam kepentingannya untuk setiap masa.[9]

            Fungsi fakta historis  bentuk-bentuk ibadah (ritus) dalam Alkitab dan sejarah gereja bukanlah bersifat mutlak, karena praktek-praktek ibadah itu adalah sarana untuk menolong kita untuk memahami, belajar, menyadari, dan memberi raspons atas tindakan Allah yang berlaku dulu dan sekarang. melihat apa yang baik yang sudah dilakukan dalam sejarah, dan apa yang tidak mendapat peneklanan dalam jaman berbeda)

            Liturgi di sini merupakan “titik pertemuan, titik kontak” dari segala zaman, agar semua orang yang mendengar firman, disapa secara pribadi dalam keberadaan mereka yang konkret.
Perlu dipahami, bahwa ibadah bukan berporos pada daya tarik yang dihasilkannya sehingga upaya entertainment alternative menjadi utama. Tapi kesadaran penuh akan kebaikan Allahlah yang menjadi dasar respons dan hormat kita dalam ibadah. Kesadar itulah yang melahirkan pujian benar, pengakuan yang jujur-tulus dan komitmen yang jelas.

4.         Bentuk Ibadah
Dalam kehidupan Israel, kita melihat bahwa manusia tidak bisa menghampiri Allah dengan sembarangan seperti keinginan manusia, apalagi dengan motive menyenangkan diri - kalaupun bangsa Israel sendiri diberi ruang keleluasaan untuk bertindak secara spontanitas.[10]


Dalam PL
, sering ditemui informasi bahwa Allah mengatur bentuk dan cara beribadah,  sehingga bentuk itu menjadi ungkapan nyata dari iman jemaat. Ketetapan-ketetapan beribadah yang diberikan oleh Allah, tidak hanya bermaksud menyediakan jalan bagi Israel untuk menyatakan imannya -bukan hanya karena mereka tidak tahu cara beribadah, tapi karena pada dasarnya manusia tidak layak untuk beribadah. Selain itu, lewat ibadah, Allah juga menyediakan jalan kembali kepada kerukunan dan persekutuan yang telah terputus.

Bentuk bentuk ibadah dalam Alkitab menyangkut juga prilaku orang dalam beribadah, karena prilaku kita adalah lambang nilai-nilai kita membantu kita untuk meneguhkan (mengingatkan) kita akan iman dan tanggung jawab kita. Tanda-tanda lahiriah ini menjadi alat pendidikan, pengajaran. Sebaliknya bentuk-bentuk ibadah ini dapat juga menjadi sarana untuk menyadarkan kita akan realitas Allah.[11]

Bentuk-bentuk itu sendiri tidaklah mutlak, karena yang menjadi inti dari bentuk dan prilaku dalam ibadah itu berfungsi menjembatani / membantu jemaat untuk mengekspresikan imannya lewat bentuk / prilaku / simbol tertentu yang mereka mengerti.
Bentuk ibadah memang seolah-olah mebatasi kebebasan. Tapi batasan terhadap bentuk ibadah ini bukan berarti penindasan, karena kemerdekaan sejati tidaklah diperoleh dan dan dinikmati dengan cara bertindak sesuka hati tanpa batasan, melainkan dengan berjalan pada jalan yang ditentukan Allah. Memang nabi-nabi pernah beberapa kali melontarkan kritik terhanap sikap eksternalisme dalam pelaksanaan ibadah, karena bentuk lahirian ibadah tanpa iman yang hidup dan bertumbuh adalah sia-sia. Namun hal itu tidak berarti bahwa ibadah tidak memerlukan bentuk yang nyata dan teratur.
           
Aspek bentuk ini juga merupakan ungkapan sosial yang dalam faktor-faktor penetapan liturgi[12]merupakan hal penting, dengan mana gereja akan mencerna / menginternalisasi apa yang ia imani dan dengan bentuk itu juga gereja menyaksikan imannya.

5.         Ibadah Devosional dan Liturgis
Ibadah dalam arti respons manusia; mempunyai dua bentuk, yakni ibadah devosional dan ibadah liturgis. Ibadah devosional dilakukan secara pribadi dan tidak terlalu terikat pada tempat waktu atau tata ibadah. Ibadah ini lebih berfokus pada perenungan dan kesadaran. Saat teduh pagi (dalam bentuk meditasi, kontemplasi, rekoleksi, dll, baik secara pribadi atau bersama dalam keluarga) dapat digolongkan dalam bentuk devosional. Sementara ibadah liturgis selalu menyangkut kebersamaan yang lebih besar dari individu[13] yang tentunya porsi-porsi individu tidak diabaikan, bahkan mendapat peran penting; seperti saat teduh sebelum unsur pengakuan dosa. Karena ibadah liturgis menyangkut kebersamaan, maka ia membutuhkan bentuk yang secara bersama bisa dimengerti, mampu mengakomodasi expressi individu dan bersama secara wajar. Karena itu faktor tradisi dan konteks jaman memainkan peranan penting.[14]

Dimensi persekutuan / koinonia cukup mewarnai ibadah liturgis, sehingga porsi individu tidak boleh terlalu mendominasi dan juga tidak boleh diabaikan. Dalam aspek ini, pertumbuhan iman mendapat keseimbangannya, menjadi bijak dalam menempatkan individu kalam kebersamaan. Ide ini jugalah yang dipahami dalam kata “persekutuan yang kudus dan am.

6.         Unsur-Unsur Ibadah Liturgis
Secara sedehana, kita dapat merangkum apa yang menjadi esensi ibadah, yakni: bertemu dengan Allah dalam ibadah dan menyadari realitas kebesaran Allah, menyadari realitas diri (maksud Allah atas kehidupan manusia, juga menyadari keberdosaan manusia), pertobatan, pembaharuan relasi dengan Allah, Firman, dan akhirnya berbuah kesadaran akan tugas dan tanggung jawab yang telah ditebus Allah.

Kesadaran ini akhirnya mendapat bentuk nyata yang terintegrasi dalam unsur-unsur ibadah liturgis orang kristen. Secara sederhana akan diuraikan unsur-unsur utama dalam ibadah kristen (bnd. Jeremia 1):
-         Kesadaran akan hadirat Allah (kekuusan, kemuliaan, kebesaran, cinta, dll). Allahlah alasan yang memungkinkan kita beribadah dan mengenal kasih dan maksudNya dalam kehidupan kita.`Kesadaran inilah yang menjadi dasar sukacita dan pujian kita dalam ibadah. Di luar hal ini, maka unsuir entertainment lah yang menjadi dasar suka cita kita.
-         Kesadaran Diri. Kesadaran akan Allah juga itulah yang menjadi dasar kita dalam mengoreksi diri yang akhirnya melahirkan pengakuan; pengakuan dosa, kehawatirn, kelemahan, ketakutan, dll. Orang menyadari kelemahan, menyadari semua pelanggarannya dan mengakui dosaannya dengan tulus, inilah yang diinginkan oleh Tuhan. Pengakuan inilah yang mendahului absolusi (penebusan dosa) dan rekonsiliasi (pendamaian).
-         Pengampunan dan pendamaian dari Allah akhirnya menjadi dasar kita dalam berdamai dengan sesama. Inilah yang melahirkan rasa damai sejahtera dalam hidup manusia.
-         Firman – komunikasi. Orang yang diampuni dan berdamai menjadi gerbang komunikasi yang baik dengan Allah.
-         Response; Pengakuan iman, Persembahan, dll
-         Komitment / Tekad
-         Pengutusan (sending out / Missi) dan Berkat
         
Ada beberap unsur lainnya yang mendapat penempatan yang cukup variatif dalam beberapa denominasi gereja, yang dipengaruhi oleh sejarah dan penafsiran gereja akan unsur-unsur tertentu.
           
Namun, kelengkapan struktur ini dalam sejarah Alkitab membuat liturgi itu sendiri sudah memiliki inti / pesan yang jelas. Liturgi itu sendiri sudah merupakan khotbah atau renungan yang dapat dirasakan berbicara bagi jemaat.
Dalam PL
misalnya, Firman Allah tidak didominasi dalam khotbah, tapi dalam bacaan, perenungan, nyanyian yang memuat pengajaran yang diulang-ulang (pengunyahan) yang merupakan proses internalisasi. Kelihaian berkhotbah mulai mendapat kepentingannya dalam PB sebagai efek dari sistem pendidikan retorika. Sedikit tidaknya, efek yang berbeda muncul dalam karakter khotbah Paulus dan Apolos yang akhirnya mendatangkan gejolak keberpihakan dalam jemaat korintus (bnd I Kor. 1:12- ).
      
            Saya tidak mengatakan bahwa khotbah tidak penting, tapi liturgi yang memiliki kelengkapan struktur (ditambah lagi dengan kemasan bahasa yang baik) sudah memiliki alur khotbah.

Penutup
            Perobahan situasi kehidupan jemaat memang menuntut cara hidup dan ibadah yang berbeda pula. Kita menyadari bahwa, gereja selalu berada dalam masa transisi, tidak pernah berada dalam kondisi fix dan permanent. Konteks sekarang; kita berhadapan dengan konteks kebudayaan dan agama tradisional di satu pihak, tapi kita juga bergumul dengan konteks modernisasi yang dengan nyata menjadi bagian hidup masyarakat yang mendatangkan perobahan nilai (pola pikir / pengertian / penghayatan).
           
            Karena itu, gereja tidak boleh berhenti bergumul memperbaharui hidupnya agar menjadi kesaksian yang benar tapi relefan dalam penyampaiannya. Berhenti bergumul dan mempermanenkan suatu pengalaman sejarah sebagai standard dapat membuat gereja kita menjadi monumen antik. Sehubungan dengan upaya pembaharuan liturgi, maka yang kita cita-citakan adalah ibadah yang kontekstual dengan muatan-muatan konteks yang tertuang dalam unsur-unsur liturgi, tapi tetap didasarkan pada theologi dan struktur prinsipil liturgi. Bagaimana menciptakan ibadah yang kontekstual tapi berdasar pada theologi dan prinsip liturgi? Masalah ini akan dibahas dalam semiloka tersendiri, karena ia membutuhkan waktu dan latihan yang cukup.

Terimakasih.

Krismas Imanta Barus


[1]   Bnd efek pemahaman sakramen perjamuan kudus Katolik Roma dan Protestan terhalap pelaksanaan Ibadah.
[2] Balasuriya., “Teology Siarah” (1994;261), Jkt. BPK GM
[3] Sejarah peribadahan orang kristen merupakan proses take and give antara agama dan budaya. bnd. Chupungco. A.J., “Cultural Adaptation of Liturgy” (1982;3), USA Paulist Press
[4]   Burkhart. J.E, “Worship” (A Searching Examination of the Liturgical Expirience), (1992;17), Westminster Press, Philadelphia, bnd. Dyrness. W., (1992:123), BPK GM
[5]   Alceste Atella in “Hand Book for Liturgical Studies”, edited by Chupungco, (1998; 4,5), The Liturgical Press, Collegeville Minnesota.
[6] Crichtone J.D, “The Church Worship (1964;27), bnd. White. J.F., “Pengantar Ibadah Kristen (2002;12), Jakarta, BPK Gunung Mulia
[7]   Senn. F.C., “Christian Worship and  Its Cultural Setting” (1983;39), Fortress Bnd. Chupungco. A.J., “Cultural Adaptation of Liturgy (1982; 6-9), USA Paulist Press. Dimensi pendidikan dari ibadah ini juga dianut oleh Calvin, bnd. Van den End., “Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme”, (2001;410-412), Jkt. BPK GM.
[8]   Bnd. Schreiter. R.J., “Constructing Local Theology”, (1991;43), Orbis Books, Maryknoll, New York
[9]   Olst, E.H. van., “Alkitab dan Liturgi (1996:56), Jkt. BPK GM
[10]             Dyenes. W., “Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama,”(1992;123, 124), Jkt. BPK GM
[11]             Oehler. G., (1880, I;264)
[12] Reimer. G., “Cermin Injil, Ilmu Liturgi”, (2003:28-39), OMF
[13] Erey. M., “Liturgical Worship”, (2002:13), Church Publishing House
[14] bnd. Hesselgraf., “Kontextualisasi, Makna, Metode dan Model, (2002;21- ), Jkt. BPK GM